
Penyusun awali dengan seruan “Wahai orang-orang yang ingin terbebas dari segala mara bahaya dan yang ingin beribadat dengan benar, semoga Allah melimpahkan taufik-Nya kepada kita. Untuk itu kita harus membekali diri dengan ilmu. Sebab, beribadat tanpa bekal ilmu adalah sia sia, karena ilmu adalah pangkal dari segala perbuatan.“
Perlu diketahui, ilmu dan ibadat adalah dua mata rantai yang saling berkait. Karena pada dasarnya segala yang kita lihat, kita dengar, dan kita pelajari adalah untuk ilmu dan ibadat.
Dan untuk ilmu dan ibadat itulah Alquran diturunkan. Juga Rasul dan Nabi-nabi, diutus Allah hanya untuk ilmu dan beribadat. Bahkan, Allah menciptakan langit, bumi dan segenap isinya hanya untuk ilmu dan ibadat. Renungkanlah firman Allah di bawah ini :
اَللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ وَّمِنَ الْاَرْضِ مِثْلَهُنَّۗ يَتَنَزَّلُ الْاَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ەۙ وَّاَنَّ اللّٰهَ قَدْ اَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا ࣖ
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya, ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.” (Ath-Thalaq: 12 )
Dengan merenungkan keberadaan langit dan bumi, diharapkan kita akan memperoleh ilmu darinya. Dengan menyimak ayat di atas, kiram sudah cukup menjadi bukti bahwa ilmu itu mulia. Lebih-lebih ilmu tauh Sebab, dengannya, kita dapat mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya..
Juga renungkan firman Allah di bawah ini:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.“
(Ads-Dzariyat: 56).
Hal itu menunjukkan betapa mulianya ibadat. Ayat di atas cukup menjadi bukti kemuliaannya dan bahwasanya kita harus senantiasa menjalankan ibadat. Sungguh besar arti ilmu dan ibadat bagi kehidupan di dunia dan akhirat. Maka wajiblah bagi kita hanya mengejar ilmu dan menjalankan ibadat, sedangkan memikirkan yang lainnya adalah batil. Sebab, dalam ilmu dan ibadat sudah tercakup segala urusan dunia dan akhirat.
Membangun negara dan menciptakan kemakmuran jika semuanya dilaksanakan karena Allah, itupun termasuk ibadat. Jadi, dengan ilmu dan ibadat, dapat tercipta kebahagiaan dunia, akhirat dan kemajuan dunia yang sehat, bukan kemajuan yang menyesatkan.
Hendaknya kita memusatkan perhatian dan pikiran hanya untuk ibadat dan ilmu. Jika sudah demikian, kita akan menjadi kuat dan berhasil. Karena berpikir selain untuk ibadat dan ilmu adalah batil dan sesat, hanya akan menghancurkan dunia. Kesimpulannya, tidak ada yang lebih baik dari ilmu dan ibadat.
Sehubungan dengan mulianya itu, Nabi SAW pernah bersabda:
“Kelebihan orang yang berilmu atas orang yang menjalankan ibadat, ibarat kelebihanku atas orang yang paling rendah di antara umatku. (HR. Al-Haris bin Abu Uzamah dari Abu Said Al-Khudri, diperkuat riwayat Turmudzi dari Abu Umamah). “
Juga perhatikan sabda Rasulullah berikut:
“Sekali melihat wajah orang berilmu, lebih aku suka daripada beribadat satu tahun, yang siangnya berpuasa, dan menjalankan salat malam. Tentunya, adalah orang berilmu yang mau mengamalkannya.”
“Apakah kalian tahu, siapakah yang paling mulia di antara penghuni surga?” Para sahabat menjawab, Tentu saja kami tidak mengetahui, ya Rasulullah!” Rasulullah menjawab, “Yaitu para ulama, dan umatku.”
Jelas sudah, bahwa ilmu itu ibarat permata dan lebih utama dari ibadat. Namun demikian tidak boleh meninggalkan ibadah; kita harus beribadat dengan disertai ilmu.
Misalnya sebuah pohon, ilmu ibarat pohonnya dan ibadah ibarat buahnya. Maka, jika kita beribadat tanpa dibekali ilmu, ilmu tersebut akan lenyap bagaikan debu ditiup angin. Di sini, kedudukan pohon lebih utama, sebab pohon merupakan intinya. Akan tetapi buah mempunyai fungsi yang lebih utama. Oleh karena itu kita harus memiliki keduanya, yakni ilmu dan ibadat.
Sehubungan dengan itu berkatalah Imam Hasan Al Basri, “Tuntutlah ilmu tanpa melalaikan ibadat. Dan beribadatlah dengan tidak lupa menuntut ilmu.”
Semakin jelas kini bahwasanya manusia memiliki ilmu dan beribadat, dan ilmu adalah lebih utama. Sebab ilmu merupakan inti dan petunjuk dalam menjalankan ibadat. Bagaimana mungkin kita menjalankan ibadat jika tidak tahu caranya?
Perhatikan sabda Rasulullah :
“Ilmu adalah imamnya amal, dan amal adalah makmumnya.“
Alasan bahwa ilmu adalah inti atau pokok yang harus didahulukan daripada ibadat ada dua: Pertama, agar berhasil dan benar dalan beribadat. Harus diketahui terlebih dahulu siapa yang harus disembah baru kemudian kita menyembahnya. Apa jadinya jika kita menyembah sedangkan yang kita sembah itu belum kita ketahui asma dan sifat-sifat Zat-Nya, serta sifat wajib dan mustahil bagi-Nya? Sebab, kadang-kadang seseorang mengiktikadkan sesuatu yang tidak layak bagi-Nya. Maka ibadat yang demikian itu akan sia-sia.
Dikisahkan: Ada dua orang, yang seorang berilmu yang tidak pernah beribadat, dan seorang lagi berilmu tetapi menjalankan ibadat. Keduanya diuji oleh seseorang, berapa kadar kejahatan kedua orang tersebut. Lantas, Si penguji mendatangi keduanya dengan mengenakan pakaian yang megah.
Ia berkata kepada orang yang rajin beribadat, “Wahai hamba-Ku, aku telah mengampuni seluruh dosamu. Maka, sekarang kau tidak usah beribadat lagi.” Ahli ibadat menjawab, “Oh, itulah yang kuharapkan darimu ya Tuhanku.”
Ahli ibadat menganggap si penguji sebagai Tuhan, sebab tidak mengetahui sifat-sifat Tuhannya.
Selanjutnya, sang penguji mendatangi orang yang berilmu, yang waktu itu sedang minum arak. Penguji berkata, “Wahai manusia, Tuhanmu akan mengampuni dosamu!” Dengan geram ia menjawab, “Kurang ajar! (seraya mencabut pedangnya), engkau kira aku tidak tahu Tuhan?!”
Demikianlah bahwa orang yang berilmu tidak akan mudah tertipu, dan sebaliknya yang tidak berilmu akan mudah tertipu.
Kini semakin jelas, setiap hamba Allah harus memiliki ilmu dan menjalankan ibadat. Dengan ilmu sebagai inti atau pokok harus diutamakan.
Rasulullah bersabda:
“Ilmu adalah pemimpin amal, dan amal sebagai makmumnya,” “Allah memberikan ilmu kepada orang-orang yang berbahagia, tidak kepada orang-orang celaka.” (H.R. Abu Nuaim, Abu Thalib Al-Makki, Al-Khatib, dan Ibnu Qayyim).
Itulah sebabnya ilmu merupakan inti (pokok) yang harus didahulukan dan diikuti oleh ibadat. Hal ini berdasar atas:
Pertama: Agar berhasil dalam menjalankan ibadat. Sebab, ibadat tanpa ilmu akan dihinggapi banyak penyakit yang dapat merusaknya. Mengetahui dulu zat yang harus disembah, baru kemudian menyembahnya. Tanpa mengetahui itu dapat menimbulkan suul khatimah (mati tidak dengan beriman kepada Allah), dan itu membuat ibadatnya sia-sia belaka.
Mengenai hal itu, sudah penyusun terangkan dalam buku Al Khauf yang terdapat dalam kumpulan buku yang berjudul Ihya’ Ulumuddin.
Sekarang marilah kita bahas buku Ihya’ Ulumuddin, guna mengetahui bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan oleh sifat suul khatimah, secara ringkas.
Kebanyakan orang saleh sangat takut dengan suul khatimah. Dan suul khatimah itu ada dua tingkatan, yang keduanya sangat besar bahayanya. Kedua tingkatan tersebut adalah:
Pertama: Yaitu hati dan perasaan seseorang ketika sakaratul maut segera merenggutnya. Maka hatinya akan menjadi ragu-ragu dan tidak percaya lagi kepada Allah, hingga ia mati dalam keadaan tidak beriman. Na’udzu billah!
Dalam hal ini, sifat kufurlah yang menghalangi dirinya dengan Tuhannya, yang membuatnya berpaling dari Allah untuk selamanya. Maka azab yang sangat pedih dan kekal akan menimpanya.
Kedua: Yaitu seseorang yang ditunggangi oleh kecintaan terhadap urusan duniawi yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan akhirat. Misalnya, seseorang sedang membangun rumah, kemudian sakaratul maut akan segera menjemputnya. Dalam keadaan seperti itu, ia tidak ingat apa-apa melainkan hanya memikirkan pembuatan rumahnya yang belum selesai. Maka, jika mati dalam demikian, berarti ia mati dalam keadaan jauh dari Allah.
Hatinya tenggelam dalam kecintaan terhadap harta dan dunia, bahkan berpaling dari Allah. Dan jika seseorang sudah berpaling dari Allah, maka azab Allah balasannya!
Di antara dua tingkatan dari sifat suul khatimah tersebut, tingkatan pertama lebih besar bahayanya. Sebab, seperti yang diterangkan Al-quran bahwa api neraka hanya akan menimpa orang-orang yang tertutup hatinya terhadap Allah.
Sedangkan orang Mukmin yang bersih hatinya, tidak bersifat yang hubbud-dunya (cinta dunia), dan selalu ingat kepada Allah adalah yang disebut dalam firman Allah:
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَّلَا بَنُوْنَ ۙ:اِلَّا مَنْ اَتَى اللّٰهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ ۗ
“(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”
(Asy-Syu’ara: 88-89).
Kepada golongan itu api neraka berkata:
“Silakan kalian berlalu wahai orang Mukmin, karena cahaya yang ada di hatimu telah memadamkan nyala apiku.” (H.R. Ya’la bin Munabbih).
Sangat berbahaya jika seseorang mati dalam keadaan dikuasai oleh sifat hubbud-dunya. Karena matinya manusia adalah sebagaimana hidupnya. Demikian pula, bangkitnya dari kubur sebagaimana ia mati. Jadi saling bersesuaian.
Ada beberapa sebab yang membuat seseorang bersifat suul khatimah, yang garis besarnya telah penyusun terangkan di atas. Seseorang dapat mati dalam keadaan suul khatimah, walaupun ia seorang yang sangat berhati-hati, zuhud, dan saleh. Ini disebabkan karena dalam niatnya terkandung bid’ah, bertentangan dengan sifat yang ditekankan oleh Rasulullah , para sahabat, dan tabiin.
Rasulullah pernah berkata kepada para sahabatnya tentang Khawarij yang rajin salat dan membaca Alquran, “Ia lebih rajin ari kalian dalam hal salat dan membaca Alquran, hingga jidatnya kehitam-hitaman. Akan tetapi ia membaca Alquran tidak sampai ke lubuk hatinya dan salatnya tidak diterima oleh Allah.”
Petikan dari kitab Minhajul Abidin